Bismillah..
Kuketik beberapa huruf di keyboard lappy kesayangan. Seperti biasa, kugunakan keahlian om gugel untuk mencari. Enter!
Keluar alternatif pilihan. Ouh.. Rupanya kata kunci yang kucari kurang spesifik. Bismillah, semoga kata kunci ini cukup spesifik. Enter! Keluarlah banyak sekali data. Seolah semua data banjir dan meluap, namun tidak ada data yang kumaksud. Benar-benar flat..
Sekarang giliran doa yang berperan :)
26 Agustus 2010
22 Agustus 2010
Ustad-ustadku sayang :')
Ustad yang saya maksud ini sebenarny ustad di masa depan (amin ya robb), aka calon ustad. Mereka-mereka ini adalah ponakan-ponakan tersayaang :D
Yang pertama, Ustad Dzaky
Si ustad yang satu ini amat menyukai wanita yang rapi menutup auratnya.. Subhanallah, ya.. Apakah ia faham betul bagaimana islam mengatur hal ini?
Insya Allah di masa datang ia akan paham.
Untuk saat ini kemampuannya masih terbatas. Si ustad bahkan baru bisa jalan beberapa langkah saja :p.
Wanita yang rapi menutup aurat (berjilbab) ia sukai karena ia beranggapan akan diajak pergi bersamanya :D. Sepertinya ia sangat memperhatikan hal ini. Dikarenakan setiap bundanya menggunakan jilbab rapi, maka kemungkinan besar si bunda mau keluar rumah. Dan jika bunda keluar rumah, kemungkinan ia diajak. Ckck.. Pintar, ya..
Rupa-rupanya, pengamatan yang dilakukannya selama ini telah memberikan kesimpulan dalam benaknya. Jadilah saya yang kadang berkunjung, atau bundanya yang ada di dalam rumah dimintanya untuk mengenakan jilbab dengan cara menunjuk-nunjuk jilbab dengan muka memelas..
Ustad Dzaky, ustad dzaky.. keep istiqomah, ya menyerukan kebenaran, hee..
Yang kedua, Ustad Daffi
Si ustad yang berwajah putih bersih ini sering berkunjung ke rumah. Suatu ketika, ia melihat peci (kopiah) si kakek teronggok di atas meja. Melihat peci tersebut, ia langsung mengenakannya di kepala dan mengambil quran kecil yang ada, dan serta merta menggumamkan lafaz-lafaz tertentu ala Ustad Daffi. Heheh.. Ia senang dipanggil begitu. Tapi sayangnya, si ustad tambun (tambun kok gak imut ya kesannya, ganti ndut deh) yang berumur 3 tahun ini masih mengompol. Iih, ustad kok ngompol? Namanya jadi ustad ngompol, dong? Si ustad cuma bisa nyengir-nyengir aje.. Dasar..
Yang ketiga, Ustad Iwus
Sebenarnya nama asli sang ustad adalah Fairuz, nama bekennya Iwus, karena kakak-kakaknya masih cadel, jadilah ia dipanggil Iwus.
Hal yang paling menonjol dari Ustad Iwus adalah suaranya yang lantang menggelegar! Whoa.. Mungkin di masa datang, ia bisa lantang meneriakkan kebenaran dan keagungan agamanya. Dimulai dari hal kecil saja, yaitu jika ia menangis, maka dalam radius beberapa puluh meter, suaranya nyaring terdengar dan membuat yang mendengar terngiang-ngiang di telinga. Hm.. Lantang apa cengeng, ya? Wkwkwk.. Latihan, ya Wus!
Ponakan laki-laki saya masih ada satu lagi sih. Tapi dari laga-laganya, ia lebih cocok jadi pengusaha ato politisi deh. Gak masalah sih pengusaha or politisi ustad. Baik untuk lingkungan n keluarganya.
Yang keempat adalah ustad Shafiq.
Pintar memanfaatkan segala kesempatan yang ada dan mem(p)berdayakan orang-orang di sekelilingnya. Mungkin karena ia sudah TK b kali, ya.. Akalnya banyak. Gak jarang, orang yang merasa dewasa dibuat keki dengan tingkahnya.
Yang keempat adalah ustad Shafiq.
Pintar memanfaatkan segala kesempatan yang ada dan mem(p)berdayakan orang-orang di sekelilingnya. Mungkin karena ia sudah TK b kali, ya.. Akalnya banyak. Gak jarang, orang yang merasa dewasa dibuat keki dengan tingkahnya.
Kalo keempat ustad ini kolaborasi, whue.. Hebohlah lingkungan..
Terus belajar ya ustad-ustadku sayang, n jadi pemuda yang bermanfaat untuk orang banyak :D.
03 Agustus 2010
Murid Spesial
Seperti sore yang sudah-sudah, saya lalui dengan mengajar privat. Namun kali ini saya mengajar murid spesial. Kenapa? Karena ia berkebutuhan khusus. Autis. Sebelumnya, ibunya sudah memberitahu saya bahwa ia autis. Bismillah. Saya coba. Seperti biasa, mata ajar favorit murid-murid privat itu cuma satu: matematika :D.
Awal bertemu, hmm.... saya tidak menduga bahwa ternyata ia benar-benar spesial. Ia sudah bisa berkomunikasi dengan lancar. Kelas 2 SMP. Sedari kecil, saya yakin ibunya sangat gigih berusaha agar ia tidak kehilangan komunikasi dengan lingkungan sekitar. Kesabaran mutlak diperlukan. Ia seperti anak lainnya yang adaaaaaa aja alasan biar gak belajar. Ya nanya inilah.. nanya itulah.. garuk-garuk badan. Kalau kata ibunya, ia bisa garuk-garuk badan dari pagi sampe sore kayak orang belum mandi 2 tahun :)). Padahal badannya gak gatel. Biar gurunya terkecoh, jelas sang ibu. hoooo....
Setelah lewat dari 1 jam, sang ibu menjelaskan pada saya perihal anaknya. Hm.. mendengar penjelasannya, saya merasa bersyukur bisa mengenal macam-macam orang..
Kemudian ibunya membawa saya ke kamarnya. Di sana sang ibu menunjukkan beberapa gambarnya yang subhanallah.. bagus bangeeet. Ternyata murid spesialku ini suka sekali menggambar, khususnya mobil. Keren banget gambarnya. Ibunya menunjukkan saya gambarnya yang mulai dari usia 3 tahun.. Ckckckc.. memang hebat.. dan isi lemari bukunya semua tentang mobil. Jangan bayangkan lemari kecil, tapi lemari yang kayak di perpus besar semuanya berisi buku-buku tebal tentang mobil.
Cerita si ibu terus bergulir, ia senang sekali ke toko buku, dan segera ke bagian mobil2.. Cita-citanya adalah designer mobil, namun ia lemah di pelajaran IPA. Atas alasan itulah mengapa saya diminta bantuannya.. Pffhh... Sebuah amanah yang cukup berat. Ganbatte!!
Man jadda wajada!!
Semoga diriku bisa membantumu :)
02 Agustus 2010
Encouragement by Rhenald Kasali
Ketika chat, saya mendapat kiriman file yang menginspirasi. Saya share di sini, semoga bermanfaat :)
Encouragement by Rhenald Kasali
Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellent) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali.
Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa?Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat.
“Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya.
Dia pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
“Saya mengerti”, jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu.
“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,” lanjutnya.
“Di negeri Anda, guru sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!”
Dia pun melanjutkan argumentasinya.
”Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat”, ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai A, dari program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam.
Saat ujian doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah. Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat.
Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.
Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut ‘menelan’ mahasiswanya yang duduk di bangku ujian. Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan kebaikan itu ada udang di balik batunya.
Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement.
Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.
“Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal. Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut.
“Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan ‘gurunya salah’. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan atau rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau...; Nanti...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di pihak lain dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat.
Temuan- temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya.
Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi ada juga orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.
Bisa diaplikasikan ke murid, ponakan, or anak nantinya.
*jadi inget dosen, guru tk, n rapot smp saya :p*
Langganan:
Postingan (Atom)