*Tunjuk tangan! :D
Beberapa hari kemarin, saya diundang oleh Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif, dan Komplementer, sebuah direktorat baru di kemkes untuk menghadiri talk show mengenai jamu. Sebenarnya bukan saya sih yang diundang, melainkan pihak Direksi Rumah Sakit tempat saya bernaung. Namun, semua orang yang berkepentingan itu sibuk, jadilah pihak direksi meminta Instalasi Farmasi untuk mengirim wakilnya, dan saya yang datang ke seminar itu. Tanpa persiapan apapun, saya datang ke Kementrian Kesehatan di daerah Kuningan. Wuiiiihhhh sepanjang perjalanan saya bersyukur bahwa tempat kerja saya dekat dari rumah, jadi gak perlu kena macet yang menguras emosi dan tenaga sepanjang jalan
..-_-..
Sampai di sana, walah... saya merasa anak bawang sendiri :p. Berkenalan dengan segelintir peserta, ternyata mereka telah berbuat banyak dan amat mencintai produk tradisional Indonesia ini. Ada dokter yang sekaligus praktisi, yang meresepkan ramuan tradisional jamu untuk para pasiennya, juga ada pendidik di sebuah poltekes di Jawa Tengah yang jurusan mengenai jamu-jamuan baru saja didirikan, pengusaha jamu, dan banyak lagi. Sebagai orang yang pernah mendapat kuliah mengenai bahan alam (mulai dari anfistum, farmakognosi, sampai fitokimia beberapa edisi) saya merasa beruntung dan juga gak mau ketinggalan dunk.. Hehe..
Sebelum acara dimulai, foto dulu..
Talk show tersebut mengundang beberapa pembicara, dari pengusaha jamu diwakilkan bpk Charles Saerang yang sekaligus ketua GP Jamu, ada juga Wamen Kesehatan bpk Ali Gufron Mukti, Rektor IPB bpk Heri Suwardijanto, wakil dari masyarakat bpk Hendardji Supanji, dari Kementrian Pertanian bpk Yul Hari Bahar, dan Maria Selena putri Indonesia 2011.
Menurut penelitian yang dilakukan WHO tahun 2005 yang lalu, 80% penduduk dunia pernah pake produk herbal yang mengusung tema back to nature. Kalo gak salah simak, kata pak wamen, ada tuh sekarang permenkes yang mengatur tentang saintifikasi jamu, yaitu penelitian mengenai jamu yang berbasis pelayanan kesehatan. Saintifikasi jamu ini untuk penyakit-penyakit kronik, yaitu hiperglikemia, hiperkolesterolemia, hipertensi, dan hiperuremia supaya jamu-jamu di Indonesia ini ada data penelitiannya. Sudah ada 12 rumah sakit lho yang menerapkan saintifikasi jamu ini. Masih ada beberapa kelemahan sih, seperti kurangnya publikasi (lha saya aja baru tau :p), mekanisme kontrol mengenai pelayanan kesehatan tradisional, dan kurangnya ahli yang mumpuni.
Di Taiwan, pasien bisa memilih pengobatan konvensional atau tradisional. Sekarang ini di Indonesia punya 6 produk fitofarmaka; rheumaneer, stimuno, tensigard, nodiar, x-gra, stimuno, 31 obat herbal terstandar, dan 1400-an produk jamu. Fitofarmaka perkembangannya sangat lambat. Pengusaha obat tradisional terbentur dengan persyaratan CPOTB dan serangkaian uji yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Karenanya, para produsen lebih memilih menghasilkan produk jamu dibandingkan fitofarmaka. Obat tradisional harus disamakan, gitu kata Pak Charles. Katanya, fitofarmaka tidak lebih unggul dari OHT maupun jamu. Begitupun sebaliknya. Semua obat tradisional sama. Memang ada beberapa oknum yang memasukkan bahan kimia obat (BKO) ke dalam jamu biar cespleng. Saya jadi ingat tugas khusus waktu PKPA di BPOM. Menulis tentang jamu ber-BKO, banyak euuuyyyyy... Sehingga, lanjut pak Charles, pengusaha jamu harus dibina, dan diberi pelatihan dan pendidikan yang cukup supaya nggak jual jamu ber-BKO.
Dengan adanya saintifikasi jamu, diharapkan seluruh orang (produsen) bisa membuat produk jamu, sehingga harga turun, dan citra jamu meningkat. Pasar jamu di Indonesia ini sungguh luar biasa besarnya. Sayang sekali jika potensi yang besar ini tidak dimanfaatkan, atau bahkan dicuri negara lain.
Masih ada beberapa kendala yang mudah-mudahan bisa segera diatasi. Peraturan yang melindungi para petani rimpang dan bahan-bahan pembuatan obat tradisional, penanganan pasca panen, pelatihan dan pembinaan mengenai pembuatan simplisia, adanya standar tanaman herbal.
Farmakope herbal apa kabarnya, yak? Beberapa tahun lalu, dosen saya bilang, farmakope herbal sedang disusun. Entah. Dalam hati saya berharap semoga obat tradisional bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri. Saatnya jamu unjuk gigi :D.
*Lepas dari talk show itu, saya jadi suka minuman jahe :D
Talk show tersebut mengundang beberapa pembicara, dari pengusaha jamu diwakilkan bpk Charles Saerang yang sekaligus ketua GP Jamu, ada juga Wamen Kesehatan bpk Ali Gufron Mukti, Rektor IPB bpk Heri Suwardijanto, wakil dari masyarakat bpk Hendardji Supanji, dari Kementrian Pertanian bpk Yul Hari Bahar, dan Maria Selena putri Indonesia 2011.
Menurut penelitian yang dilakukan WHO tahun 2005 yang lalu, 80% penduduk dunia pernah pake produk herbal yang mengusung tema back to nature. Kalo gak salah simak, kata pak wamen, ada tuh sekarang permenkes yang mengatur tentang saintifikasi jamu, yaitu penelitian mengenai jamu yang berbasis pelayanan kesehatan. Saintifikasi jamu ini untuk penyakit-penyakit kronik, yaitu hiperglikemia, hiperkolesterolemia, hipertensi, dan hiperuremia supaya jamu-jamu di Indonesia ini ada data penelitiannya. Sudah ada 12 rumah sakit lho yang menerapkan saintifikasi jamu ini. Masih ada beberapa kelemahan sih, seperti kurangnya publikasi (lha saya aja baru tau :p), mekanisme kontrol mengenai pelayanan kesehatan tradisional, dan kurangnya ahli yang mumpuni.
Di Taiwan, pasien bisa memilih pengobatan konvensional atau tradisional. Sekarang ini di Indonesia punya 6 produk fitofarmaka; rheumaneer, stimuno, tensigard, nodiar, x-gra, stimuno, 31 obat herbal terstandar, dan 1400-an produk jamu. Fitofarmaka perkembangannya sangat lambat. Pengusaha obat tradisional terbentur dengan persyaratan CPOTB dan serangkaian uji yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Karenanya, para produsen lebih memilih menghasilkan produk jamu dibandingkan fitofarmaka. Obat tradisional harus disamakan, gitu kata Pak Charles. Katanya, fitofarmaka tidak lebih unggul dari OHT maupun jamu. Begitupun sebaliknya. Semua obat tradisional sama. Memang ada beberapa oknum yang memasukkan bahan kimia obat (BKO) ke dalam jamu biar cespleng. Saya jadi ingat tugas khusus waktu PKPA di BPOM. Menulis tentang jamu ber-BKO, banyak euuuyyyyy... Sehingga, lanjut pak Charles, pengusaha jamu harus dibina, dan diberi pelatihan dan pendidikan yang cukup supaya nggak jual jamu ber-BKO.
Dengan adanya saintifikasi jamu, diharapkan seluruh orang (produsen) bisa membuat produk jamu, sehingga harga turun, dan citra jamu meningkat. Pasar jamu di Indonesia ini sungguh luar biasa besarnya. Sayang sekali jika potensi yang besar ini tidak dimanfaatkan, atau bahkan dicuri negara lain.
Masih ada beberapa kendala yang mudah-mudahan bisa segera diatasi. Peraturan yang melindungi para petani rimpang dan bahan-bahan pembuatan obat tradisional, penanganan pasca panen, pelatihan dan pembinaan mengenai pembuatan simplisia, adanya standar tanaman herbal.
Farmakope herbal apa kabarnya, yak? Beberapa tahun lalu, dosen saya bilang, farmakope herbal sedang disusun. Entah. Dalam hati saya berharap semoga obat tradisional bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri. Saatnya jamu unjuk gigi :D.
*Lepas dari talk show itu, saya jadi suka minuman jahe :D
Mantap dah.Smga smakin sehat aja warga IndoNesia dg herbal
BalasHapussalam mantri yang jarang minum jamu ^^
Enchu..aku bacanya..saatnya jamu untuk gigi..hihi salah yah?..:-p..
BalasHapusJamu untuk gigi? Amalgam kali?? Eh, tapi udah gak dipake, yah? :D
BalasHapusPak mankes -mantri kesehatan, red- sukseskan dunk program pemerintah untuk jadiin jamu makin mengakar di negeri ini.. Heheh